"Dalam konteks keindonesiaan, praktik kehidupan demokrasi dijiwai sila keempat Pancasila yang mengamanatkan penegakan kedaulatan rakyat, serta melembagakannya dalam mekanisme permusyawaratan/perwakilan," kata Bambang Soesatyo atau Bamsoet di Jakarta, Kamis.
Hal itu dikatakan Bamsoet dalam diskusi bertajuk "Urgensi Utusan Golongan di MPR RI" yang diselenggarakan Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta, di Jakarta, Kamis.
Wacana menghidupkan kembali utusan golongan dalam keanggotaan MPR RI juga pernah disuarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, serta Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), dan berbagai kelompok masyarakat lainnya.
Baca juga: Ketua MPR: PPHN jadi peta jalan pembangunan IKN agar tetap berjalan
Bamsoet mengatakan penyerapan aspirasi tersebut merupakan bagian dari tugas dan fungsi MPR RI sebagai "rumah kebangsaan" sekaligus "penjelmaan rakyat".
Menurut dia, fungsi tersebut harus mampu mewadahi berbagai arus pemikiran maupun dalam konteks menyikapi dinamika pemikiran kebangsaan sebagai bagian dari proses pendewasaan dan pematangan kehidupan demokrasi.
"Mengejawantahkan kedaulatan rakyat dalam lembaga perwakilan, idealnya dapat dimanifestasikan melalui beberapa jalur representasi. Antara lain representasi politik yang sudah terwadahi dalam DPR RI, representasi kedaerahan yang sudah terwadahi dalam DPD RI, serta representasi golongan/kelompok fungsional yang bisa terwadahi dalam utusan golongan," ujarnya.
Dia menjelaskan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan.
Menurut dia, setelah perubahan konstitusi, sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
"Perubahan tersebut berdampak pada hilangnya unsur utusan golongan. Tidak heran jika kini ada yang menilai bahwa gambaran ideal mengenai demokrasi partisipatoris yang melingkupi semua kelompok kepentingan belum sepenuhnya terpenuhi," katanya.
Bamsoet menilai pembentukan utusan golongan dalam lembaga perwakilan sejatinya adalah amanat yang telah diwariskan sejak cita-cita awal kemerdekaan.
Baca juga: Hari Parlemen dan momentum benahi tingkat kepercayaan pada legislatif
Menurut dia, kehadiran utusan golongan secara prinsipil mengakomodir karakteristik rakyat Indonesia yang sangat plural dan heterogen dalam segenap aspeknya.
"Dalam konteks kekinian, keberadaan utusan golongan dapat dipandang sebagai bagian dari ikhtiar untuk memenuhi keadilan peran politik secara menyeluruh, sekaligus dapat menjadi penyeimbang peran dari keterwakilan politik yang dipegang DPR dan keterwakilan daerah yang berada di tangan DPD," ujarnya.
Dia menjelaskan tiga hal yang menjadi latar belakang penghapusan utusan golongan pasca reformasi, pertama, adanya pandangan bahwa pelaksanaan demokrasi langsung yang dimanifestasikan pemilihan secara langsung dianggap lebih demokratis.
Kedua menurut dia, adanya pandangan perlunya penyederhanaan sistem perwakilan, hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang mewakili dua unsur representasi yaitu representasi politik (DPR) dan representasi daerah (DPD).
"Sedangkan representasi golongan dapat diwakili dan disalurkan melalui lembaga perwakilan yang sudah ada khususnya DPD," katanya.
Ketiga, menurut dia, penunjukan utusan golongan oleh presiden cenderung mewakili kepentingan rezim pemerintahan yang mengangkatnya, dan bukan kepentingan rakyat atau golongan yang diwakilinya.
Karena itu dia menilai gagasan menghadirkan kembali kedudukan utusan golongan di MPR harus mampu menjawab, mengoreksi, dan menjadi antitesis dari berbagai faktor yang melatarbelakangi dihapuskannya keberadaan utusan golongan dalam keanggotaan MPR tersebut.
Baca juga: Bamsoet apresiasi Polri-BIN amankan Konferensi Forum MPR Dunia
Baca juga: Lestari Moerdijat: Forum MPR Dunia tingkatkan kesetaraan perempuan
Baca juga: MPR: Perlu perkuat komitmen penuhi hak penyandang disabilitas
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2022